ARTIKEL PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Analisis Permasalahan Pendidikan di
Indonesia
Pendidikan
akan terus menjadi salah satu topik pembicaraan yang menarik. Menarik karena
dalam pembukaan UUD 1945 tercantum salah satu tujuan pendidikan nasional bangsa
Indonesia “yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa“. Berdasarkan Survey United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap
kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia
menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru,
kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.Jaringan Pemantau
Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tujuh masalah pendidikan yang harus segera
diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan.
Pertama, nasib program wajib belajar (wajar) 12
tahun ini masih di persimpangan jalan. Alasannya, program itu belum memiliki
payung hukum. Perbincangan soal realisasi wajar 12 tahun ini mengemuka sejak
awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2015. Namun, sepanjang
2016-2017, tidak ada lagi perbincangan dan langkah untuk mewujudkan hal itu.
Menurutnya, mandegnya wajar 12 tahun akibat tidak adanya payung hukum yang
dapat mendorong untuk mewujudkannya.
Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA
mengalami kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang
MA/SMK/SMA. Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi
kini mereka resah karena banyak provinsi yang membolehkan sekolah untuk menarik
iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan.
Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk
dievaluasi dan dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya.
Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
(Desember 2016), terdapat 78 perden guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di
sekolah, setuju jika pemerintah berdasyarkan syariat Islam dan 77 persen guru
PAI mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.
Keempat, masih lemahnya pengakuan negara atas
pendidikan pesantren dan madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan
sejak dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Namun, kini
perannya termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Maka,
tidak heran, jika belakangan ini kekerasan atas nama agama, SARA, dan
benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan agama di sekolah
tidaklah cukup memadahi.
Kelima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar
(KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih
jadi impian. Marginal di sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak
yang berkebutuhan khusus. Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok
tersebut. Program BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena nyatanya masih
banyak anak miskin yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat,
alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti
implementasi program tersebut.
Keenam, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Potret buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah dan pengaduan pungli. Modus kekerasan ini sudah sangat rumit untuk diurai, karena para pelakunya dari berbagai arah. Komponen utama sekolah, yakni, wali murid, guru, dan siswa, satu sama lain berperan ganda. Artinya, masing-masing dapat berperan sebagai pelaku, dapat pula jadi korban. Penerapan sekolah ramah anak menjadi penting untuk direvitalisasi. Di sisi lain, fakta pungutan liar di seakan tidak dapat dikendalikan, terutama terjadi di sekolah negeri yang harusnya bebas pungutan dan juga terjadi di jenjang sekolah menengah.
Ketujuh, ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat ini ada lebih dari tujuh juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap pakai. Ini menunjukkan bahwa ada gap antara dunia industri dengan ketersedian tenaga terampil di Indonesia. Ini penting, sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja asing akan meminggirkan dan mempensiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu menjawab masalah ini.
Maka dengan adanya perbaikan masalah
tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia
dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan
generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan
bermartabat.
Lutfiatun
Hasanah XII IPS
Komentar
Posting Komentar